Sunday, August 14, 2016

Emotionless

This word also represent my thought of a woman, my another Kata Untuk Perempuan.

Sudah lebih kurang satu tahun ini nenek aku tinggal di rumah. Berawal dari kondisi sehat-sakit-sehat-dan terus berputar sampai hari ini. Tinggal bersama orang tua, khususnya yang sudah lanjut usia, buat ku sendiri ya gampang-gampang susah. Ada banyak drama, drama, dan drama seiring waktu. 

Bukan foto eyang aku, tapi foto Mbah Kani.
Tinggal sebatang kara di gubug di Desa Pujon Kidul,
Semakin lanjut usia, tingkah laku bahkan bisa jadi semakin kembali seperti anak kecil. Katanya... Manja, selalu minta diladenin, cari perhatian. Eyang (panggilan aku ke nenek) suka dengerin radio. Semenjak kakinya sudah tidak bisa dipakai jalan normal, aktivitasnya jadi sangat terbatas.

Pagi sekitar jam 05.30 aku suka dengar dari kamar ku, kalau eyang sedang ganti-ganti channel radio. Tapi setiap pagi juga eyang akan menyeringai bahagia begitu aku datang ke kamarnya, meminta aku menggantikan channelnya karena ia bilang ia tidak bisa. Memintaku tidak usah ke kantor. Tidak usah kemana-mana. Memintaku menyalakan setiap lampu di rumah. Meskipun. Masih. Pagi.  

Sebenarnya perilaku kekanak-kanakan itu kalau kita nalar dengan akal jernih akan menjadi make sense, fisik yang melemah, kemampuan indra yang menurun, kesepiandan lain-lain. Dan semua itu alami, bukan dibuat-buat.

Setiap hari aku masih harus selalu ngingetin diri sendiri dengan nasehat-nasehat positif. "Itu orang tua, dulu kita kecil juga mungkin sama ngerepotinnya. Kita harus baik sama orang tua, kalau kita nanti jadi tua juga gak mau kan ditelantarin anak. Kita harus sabar, sabar, kalau marah atau kesel itu dosa"

Sampai akhirnya aku mikir sendiri, "Memang sabar itu apa? Kenapa jadi gak boleh ada perasaan atau emosi? Emang cuma perempuan yang gak boleh? Kok gitu.." 


Perempuan itu harus sabar. Tapi bukan berarti gak punya emosi. Karena pada dasarnya perempuan diciptakan dengan perasaan lemah lembut. Mudah tersinggung Jadi, perempuan (dan jenis kelamin lainnya) harus tau bagaimana mengelola emosi dirinya dengan cepat. Sebelum meledak-ledak, dan dicap sebagai gak sabaran atau cengeng. 

Perempuan itu gak boleh gampang marah. Tetapi sebenarnya marah atau amarah adalah salah satu bentuk emosi. Sebagai manusia normal, pasti punya tendensi perasaan marah. Cuma dengan bertambah dewasanya perempuan (juga laki-laki) harus paham bagaimana cara meregulasi emosi. Jadi bukan artinya tidak boleh marah, tapi gak boleh melampiaskan amarahnya.

Pada pengertian awam, emosi memiliki makna yang negatif. Emosi digambarkan dengan perilaku marah, treak-treak, banting-banting pintu, dsb. Akhirnya banyak judgement, "Emosian amat jadi orang. Sabar dikit kek"
Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman (2002 : 411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak ata merespon stimulus.
Pembahasan Aristoteles mengenai kehidupan emosional manusia, dalam buku Emotional Intellegence karya Goleman
Tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan (Goleman, 2002 : xvi).  
Menurut ajaran agama Islam pun, marah diartikan sebagai suatu perangkai buruk, apalagi marah yang dipicu oleh hawa nafsu keduniawian, sehingga menahan amarah adalah sebuah kunci kebaikan.
Ada seseorang datang menemui Nabi Muhammad SAW seraya berkata, "Wahai Rasullah, berilah aku wasiat." Maka Rasullah SAW bersabda, "Janganlah kamu marah." Beliau mengulanginya berkali dengan berkata, "Janganlah kamu marah." (HR. Bukhari 6116, Ahmad 2/362)
Dari hadist tersebut bisa dipahami bahwa menahan amarah adalah sesuatu yang sangat penting walaupun sulit dilakukan, karena itu Rasullah menekankan berkali-kali dalam wasiat.

Well, aku sendiri pun bukan orang yang segitu sabarnya, masih kadang segitu keselnya.
Semoga kita semua lebih bijak dengan diri sendiri

Happy weekend! :D



References :
1. Instagram account @cakbudi_ penggiat kepedulian terhadap lansia di Malang, Jatim
2. Belajar Psikologi : Pengertian Emosi
3. Islam Pos : Keistimewaan menahan amarah

Sunday, July 10, 2016

Legowo; Letting Go; Yaudahlah

Hosh! Agak berat rasanya untuk kembali menulis personal life disini, setelah beberapa bulan mencoba menyelesaikan masalah dengan cara yang berbeda. HAHA! Apa memangnya berbeda?

Well, I can say I did it so much better this time!

Seiring berjalannya usia, seharusnya paralel dengan tingkat kedewasaan manusia. Tingkat kedewasaan itu menurut ku terlihat dari cara kita menyelesaikan masalah. Ada yang menyelesaikan masalah selalu dengan gaya yang sama, ada yang berubah karena berbagai alasan, misal desakan, tuntutan, yang terakhir insight. Insight mungkin bisa disebut "hidayah" yang datangnya dari manusia.

I've been there at the low point of life questioning everything to Allah SWT. 
And I've learned it the hard way

Dulu, pasti pernah satu fase dalam hidup kita, dimana semua emosi langsung serta merta kita ungkapkan. Dengan dalil "yah dari pada disimpen sendiri bikin sakit", dan akhirnya menjelma menjadi perkataan-perkataan kasar, perbuatan yang tidak etis, atau yang paling sering terjadi curcol galau mewarnai di media sosial kita, twitter, facebook, dan status BBM.


Sekian tahun berlalu dari masa-masa itu, aku aja rasanya malu untuk membaca lagi curcol-curcol lebay yang pernah ku buat. Mostly sih masalah pergebetan, percintaan dan sejenisnya, Masalah yang dulu terasa berat, kini jadi terlihat sebenarnya-sepele-tapi-ditanggapi-berlebihan. Yah setidaknya masa itu sudah lewat. Ketika SMA, aku kita yang galau karena gebetan, masa kuliah galau dengan PHP, yaa masalah yang booming pada jamannya. Malu kan kan kalau sampai kita mengulangi kesalahan yang sama dan respon yang juga sama. Ya kayak gak naik kelas gitu.. *palm face* 

Masalah apapun, dikembalikan saja ke Sang Maha Pengatur

Klise. Tapi tidak semudah mengucapkannya. Kalimat yang nggak aku sangka bakal ngena banget buat ku, Waktu itu diajak ketemuan dengan senior-senior ku di kampus. Tanpa tau mau ngomongin apa, yang penting ketemu aja, walaupun jauh.

Salah satu senior ku dan juga teman yang lain ku akhirnya banyak cerita soal hal-hal "menakjubkan" yang beberapa waktu lalu menghadang mereka(eaaaa...). Dari satu hal ke hal lainnya, gak cuma soal jodoh tapi perihal keluarga pun, mereka sedikit bercerita bagaimana usaha yang dia upayakan untuk bisa survive. Minimal gak gila.

Dan sampai negara api datang menyerang aku hehehe~.Tapi sungguh aku anaknya lebay kalau soal kepercayaan. Long story short, instead of blaming others people, I blamed my self so much. Makanya kalimat tadi di atas aku sebut-sebut terus dalam hati. Sampai aku kabur ke Semarang, yang niatnya mau naik paragliding sekalian katarsis, malah jadinya ngedengerin tausyiah kehidupan temen deket kuliah ku. Alhamdulillah aku gak (jadi) gila,

Ada satu momen yang aku inget banget, atau mungkin ini yang disebut pengalaman spiritual (?). Kadang dihati sudah mulai memaafkan tapi kadang otak ini belum mau melepaskan, terlalu banyak worry, takut, bingung, gak berhenti nanya kenapa begini atau begitu. Entah gimana insight ke sekian aku baca sendiri di halaman-halaman terakhir novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu
Mengapa Tuhan justru mengambil kebahagiaan dari orang-orang yang baik? Itulah bentuk keadilan langit yang tidak akan kita pahami secara sempurna. Beribu wajhanya berjuta bentuknya. Hanya ada satu cara untuk bekenalan dengan bentuk-bentuknya. Selalulah berprasangka baik.
Dan aku nangis kejer baca kalimat-kalimat itu. Yah itulah cara Allah ngasi pencerahan melalu sekeliling ku, walaupun cuma tulisan random yang ku baca. Sampai rasanya aku seolah bicara dengan diri ku sendiri "Yaudahlah pasti ada caranya, pasti ada jalannya. Allah pasti punya rencana yang lebih baik. Percaya aja".

"Yaudahlah" itu menjadi powerfull word, bukan pasrah gitu aja tanpa usaha. Bukan gak berperasaan, gak boleh sedih atau nangis, gak boleh marah atau kecewa. Tapi melepaskan ekspektasi pribadi dan menukarnya dengan keyakinan bahwa pasti ada yang lebih baik.

So, kalau mungin akan ada yang bertanya, "kalau satu kali lagi kamu harus terjatuh, apa yang kira-kira akan terjadi?". Aku akan jawab "Tapi ku baik-baik saja" kemudian nyanyi bareng Mba Maia :D

Have a good day :D






Wednesday, February 10, 2016

We are what the people thought we are - Review awam Mr. Robot

Beberapa hari yang lalu aku dan teman dekat ku itu sempat debat mengenai apa sebenarnya manfaat dari sosial media. Di antara temen-temen deket ku, dia mungkin satu-satunya yang bertahan tidak punya akun path ataupun instagram, sedangkan orang lain hampir dipastikan punya keduanya atau paling tidak salah satunya.

"Ada manfaatnya gak punya socmed buat aku? Buat pamer doang? Lagi disini lho, lagi makan ini lho? Pergi kemana update, foto apa update?"

Kebanyakan refleks yang muncul "Ya itu kan tergantung sudut pandang kita aja yang ngeliatnya. Kalau ada temen yang jalan-jalan apa terus kita ngerasa insecure karena gak bisa jalan-jalan?". Sampai disini aku setuju dengan bagaimana kita membangun persepsi yang tidak bergantung pada kecendurungan persepsi umum. Bahwa liburan harus jalan-jalan, yang di rumah saja itu cupu.

Aku juga pernah baca review di Playstore soal Path itu sendiri yang menurut ku cukup menohok. Isinya kalau di-bahasa-Indonesia-kan jadinya begini :

"Ini adalah aplikasi dimana kalian bisa mengisi lembar catatan kehidupan sehari-hari kalian (diary) dan dilihat banyak orang. Downloadlah kalau kalian suka!" 

Kalau sebelumnya kita melihat Path dari sisi pengguna pasif (yang cuma scroll-scroll-scroll tapi terus jengkel karena updatean temen), pendapat ini mewakili kaum yang suka mengunggah sesuatu, bisa jadi aktivitas sehari-harinya, kesukaan dan ketidaksukaanya terhadap karya seni, sosok manusia, barang yang dimilikinya, pendapat atau pemikirannya terkait fenomena. Sadar atau tidak, kegiatan inilah yang disebut dengan memberi makan pada ego. 

We are what the people thought we are

Setiap ego mempunyai makanan terbaiknya masing-masing, tapi pada dasarnya setiap ego ingin "bahagia". Ingat prinsip Id dari Sigmund Freud? Dorongan naluriah akan kesenangan, pemenuhan kebutuhan primer. Di social media menunya adalah kita "senang" kalau orang tau betapa padatnya rutinitas setiap hari, "senang" kalau orang setuju dengan apa yang kita juga suka, pun kita "senang" kalau orang turut bersedih dengan kesulitan yang menimpa kita.

Jennifer Crocker, seorang psychologist dari Michigan University juga menjelaskan "contingent self esteem" penilaian positif terhadap diri sendiri bergantung dari anggapan orang lain terhadap diri kita atau dari pujian dan pengakuan orang akan hal-hal tertentu (significant event) dalam hidup yang juga kita anggap penting. Menurut Crocker, penilaian orang lain dapat menumbuhkan positivisme dalam diri kita meskipun tidak akan berlangsung lama.


"Maaf nih lagi gak bisa update, lagi liburan kemaren ke Zimbabwe, semoga rejekinya nambah terus, bisa jalan-jalan lagi" (seen by 2.393.499 friends)


Review awam serial Mr Robot. 
Mild spoilers ahead.

Bicara soal mengcopy-paste real life kita ke dalam account di media online, serial yang baru-baru ini aku tonton, Mr. Robot, menggambarkan bagaimana kepribadian kita bisa dibentuk dari apa saja yang ada diupload ke socmed.

Serial ini yang dibintangi oleh Rami Said Melek. Kalau kalian tanya Rami Said Melek, sama aku pun gak kenal. Hehehe. Awalnya temen ku yang ngerekomendasikan film ini. Film ini menceritakan seorang hacker bernama Elliot yang super cerdas bekerja di cyber security firm tapi juga punya gangguan psikologis yang kompleks.

Elliot tumbuh menjadi anak muda yang menyimpan kekecewaan yang besar terhadap dirinya sendiri akibat pengalaman tidak menyenangkan di keluarganya. Ketidakmampuannya untuk menyelesaikan internal problem dalam dirinya ini dipendam hingga dia dewasa. Serial ini juga diisi oleh banyak narasi dari sudut pandang Elliot "yang lain" yang mana buat ku pribadi menjadi daya tariknya.

Gangguan mental yang dimiliki Elliot membuatnya sangat tertutup dengan orang disekelilingnya. Ketakutannya untuk disakiti, merasa kesepian adalah hal yang mendorong Elliot mewaspadai setiap orang yang sering bersentuhan di kesehariannya. Cara dia mengenali lawan bicaranya yaitu melalui sosial medianya, mengamati intereksi mereka di dunia maya, foto-foto yang diupload, life records, dan juga menerabas masuk ke personal email. Informasi-informasi tersebut ditelaah Elliot untuk ditarik kesimpulan tipe kepribadiannya.

Dalam serial ini, data-data personal tersebut digunakan Elliot sebagai dasar untuk "menolong" orang yang bersangkutan, "menolong" orang banyak, dan "menolong" dirinya sendiri. Perasaan ketakutan disakiti yang kerap menghantuinya secara berlebihan diproyeksikan menjadi kemarahan yang berlebihan pada orang bertindak tidak adil, kaum kapitalis. Compulsive disorder.

Dalam kehidupan sehari-hari kita sekarang, menggali infomasi seseorang melalui sosial medianya, mungkin sudah sering kita jumpai. Penggunannya bisa untuk kepentingan seleksi pekerjaan, pengungkapan kasus kriminal, ataupun kepo-kepo gebetan, mantan gebetan, mantan pacar, pacarnya mantan, atasan di kantor, artis, sok artis, siapapun.

Intinya, bukan melarang penggunaan social media, tapi membatasi. Pentingkah untuk semua orang tahu? Haruskah kita merespon segala topic, just for the sake of peer pressure? Are we trap in our teenage drama?

Semoga kita semua dilindungi dari kesia-sian.
Have a fruitful day :D






Further info and related link:
1. Q&A dengan penulis Mr.Robot
2. What's compulsive disorder?
3. The Boom and Bust Ego




Saturday, January 23, 2016

Kata Untuk Perempuan

Have you consider for doing something that you really interest in but at the other hand it will push you to go accross the rules?

I have did! And it's pretty amazing experiences, allow me to share you the story ya :D

*push the subtitle botton*
*turn it to Bahasa Indonesia*

Kakak senior di kampus dulu yang paling deket sama aku itu namanya Mega Tala Harimukthi atau biasanya aku panggil Kak Tala. Kak Tala ini selain kakak yang super kakak-able, dia juga aktif di dua organisasi Forum Indonesia Muda dan Indonesia Mengajar. Singkat cerita, hasil ngintilin Kak Tala hari itu, aku jadi punya 2 temen baru Kak Maya Rumpe dan Yulaika.

Kemajuan teknologi berwujud aplikasi Instagram, sangat membantu kita untuk dapat informasi jauh lebih cepat. Yulaika yang ternyata aktif di Instagram, baru saja memposting foto pada saat workshop Kata Untuk Perempuan bersama Ika Vantiani. Di fotonya itu Yula bersama dengan beberapa perempuan lain sambil memegang hasil karya kolase mereka masing-masing.

Langsung aku tab akun instagram @katauntukperempuan di postingan itu dan mendirect ku ke halaman instagram yang berisi sejumlah foto kolase bertema perempuan. Di salah satu fotonya aku baca apa maksud dari kolase-kolase itu. Menarik! Pilihan workshop selanjutnya yaitu tanggal 13 Desember (kalau tidak salah) dan Januari pada saat event Jakarta Biennalle. Dengan pertimbangan venue yang dekat dari kantor pada tanggal 13 itu, aku langsung daftar ke Mba Ika, walaupun hari itu adalah HARI KERJA. Hari kerja di tengah minggu dan workshop mulai dari jam 17.00. How come???

Tekat ku bulat pada saat itu, ya nggak bulet2 amat, karena aku juga belum memutuskan apakah akan cuti atau pulang cepet. Kalau cuti pun terlalu mepet dan pekerjaan sedang banyak, pasti gak diapprove. Option selanjutnya pura2 sakit. Sejauh ini sakit alasan paling aman kalau kamu mau tiba2 gak masuk untuk alasan yang gak mungkin kamu jujur. Apalagi kamu sendiri di bagian HR (susah kalo mau ngibulin temen sendiri). Hehehe. Tapi akhirnya opsi yang win-win solution menurut ku adalah izin pulang cepat!

Segitunya Hen?

Iya harus segitunya, aku cuma mikir kalo nggak sekarang kapan lagi? Kesempatan gak datang dua kali dan kalau nggak begitu caranya, aku ngerasa aku gak pernah keluar dari lingkaran pekerjaan dan ngelakuin apa yang kita suka.

Keluar kantor jam 16.00 aku perhitungkan lebih enak naik gojek dibanding kendaran umum karena harus pindah 2 kali dari arah Senen ke Taman Ismail Marzuki. Ditambah jalan yang macet karena jam pulang kantor. Ralat: Bukan Taman Ismail Marzuki tapi Institut Kesenian Jakarta. Aku pernah ke TIM tapi belum pernah ke IKJ. Maksud ku, aku gak pernah tau dimana Gedung Kampus IKJ. Orang-orang pasti aware kalau aku bukan orang sana, istilahnya saltum dan salmuk. Hahaha.

Oh well, if you might asking what did I say to my superior or even my partner, feel free to guess what..

Ya sudah akhirnya karena kelamaan nyasar, pas aku nemuin ruangannya Mba Ika sudah mulai bercerita. 

Apa sih yang dilakuin selama workshop "Kata Untuk Perempuan"? 

Di papan tulis Mba Ika nulis, bahwa setiap orang diminta memilih satu kata yang pop up untuk mendeskripsikan perempuan. Pilihan katanya bebas, konotasi ataupun denotasi, positif ataupun negatif. Setelah itu, kita kreasikan kata tersebut dalam bentuk kolase diselembar postcard putih.
Di halaman belakanganya, kita ceritakan apa makna kata tersebut bagi kita. Alat dan bahan kolase, seperti gunting, lem, majalah-majalah bekas, dan kertas beraneka motif semua disiapkan Mba Ika dan teman-teman dari IKJ.

*DUAAARR*

Dan aku masih belum memutuskan kata apa yang tepat. Buka-buka majalah, tengok kanan kiri. Malah akhirnya satu mahasiswa IKJ nyeletuk, "Kak, kalo mau bikin kolase, majalahnya jangan dibaca isinya". Hahaha dia bener dan mba Ika juga ketawa, "Iya itu kebiasaan pasti, apalagi kalau majalahnya Bazaar". Workshop itu pun diisi dengan ngobrol-ngobrol tentang kolase dan tentang perempuan itu sendiri.
Kolase Workshop Kata Untuk Perempuan

What I'm trying to sum up is..

Sampai hari ini banyak kata-kata yang maknanya jadi berubah untuk dan secara langsung atau tidak berkaitan dengan perempuan. Misalnya, mbak, mbak ini dalam bahasa Jawa adalah panggilan untuk perempuan yang kalau dalam urutan keluarga lebih dituakan (kakak perempuan), panggilan mbak juga digunakan untuk sapaan perempuan umum yang kira-kira usianya masih sepantaraan dengan kita. Tapi coba ketika mbak ini ditambah jadi mbak-mbak, "mukanya mbak-mbak banget". See that?

Contoh lain, tante-tante. Bahkan salah satu peserta workshop ada yang menuliskan dapur, hanya karena pada saat lomba 17an di rumahnya, Pak RT mengatakan bahwa "peserta lomba memasak adalah ibu-ibu muka-muka dapur".

Ada banyak kata lain yang dipilih peseta. Drama, karena perempuan suka "drama", padahal arti kata sebenernya dari drama adalah salah satu bentuk opera seni. Yasui, yang diambil dari bahasa Jepang yang berarti murah, maka segala sesuatu akan lebih murah karena wanita bisa dikaryakan, mencuci, memasak.


What's the best words to describe this workshop?

AMAZING!!

Monggo langsung dicek instragram @katauntukperempuan :D 

Sunday, January 3, 2016

Cerita Kakak-kakak (part 2 - tamat)

"Volunteering is about giving your time to a good cause. You don't get paid, but you do get the chance to use your talents, develop new skills, and experience the pleasure that comes from making a real difference to other people's lives, as well as your own." - Volunteer Bristol
Kenapa kamu mau jadi volunteer?

Salah satu volunteer dari Rumah Belajar Rawamangun melontarkan pertanyaan itu ke sesama teman-teman volunteer lainnya. Lalu dia menjawab pertanyaannya sendiri.
"Oke, mungkin dimulai dari saya dulu. Buat saya ikut acara begini itu alasannya simpel.  Untuk mengisi waktu luang. Senin-Jum'at udah padet untuk kerja. Jadi, pas weekend  pengen  ada kesibukan lain biar refresh.
Dan begitu mendengar jawabannya ini reaksi aku walaupun cuma dalam hati
"Bener banget! Ini dia nih yang gak ribet alasannya. Gak perlu punya visi misi mencerdaskan kehidupan bangsa segala. Hahaha.."
*****

Definisi volunteer dari Bristol di atas menggarisbawahi bahwa satu hal yang pasti didonasikan oleh semua volunteer adalah waktu. Karena waktu gak akan bisa kembali *eaaaaa*. Selain waktu juga sebenarnya ada hal lain yang kita "donasikan" tapi tidak masuk ke definisi, yaitu uang. Iya dong, itu fakta kan? Seolah-olah tabu untuk membicarakan uang karena ini kegiatan sosial. Tapi uang juga masalah yang sensitif. Karena kita tidak bayar atas apapun yang kita lakukan, otomatis segala biaya yang kita keluarkan untuk transportasi dan konsumsi ditanggung sendiri. Jadi sebelum mengajukan diri menjadi volunteer, 2 hal ini baiknya jadi pertimbangan pribadi, waktu dan biaya.

OK, tapi terus apa dong yang bakal didapetin, uda keluar duit buang waktu pula?

Volunteer itu ya gampang-gampang susah menurutku. Susah kalau dana terbatas, waktu juga terbatas. Aku pernah lho gak jadi ikut kegiatan festival Indonesia Mengajar ya karena gak ada biaya. Ya mau gimana lagi. Dengan punya tujuan yang positif, atau setidaknya kita (atau aku) mengganggap apa yang kita lakukan saat itu adalah baik dan ada manfaatnya, buat orang lain dan buat diri sendiri. Mencari manfaat buat diri sendiri itu penting lho. Jangan kaget kalau di luar sana bakal banyak orang yang memandang aneh orang yang meluangkan waktunya ngelakuin segitu banyak hal orang lain yang kenal aja nggak dan dibayar aja nggak. "Ngapain sih lo, kayak gak ada kerjaan lain aja.." :|

Salah satu volunteer Rumah Belajar Rawamangun yang aku ceritain di atas menurut aku punya alasan yang cukup sederhana. Sederhana tapi bermakna *cieeee* *uhuuuk*. Alasan aku pun juga gak jauh beda, cuma karena Rawamangun deket dari rumah. Aku pernah ikut beberapa kegiatan yang lokasinya jauh, jauh banget di Ujung Aspal, Pondok Gede. Dari rumah ku di Matraman kalau mau ke sana perjalanan sekitar 2 jam. Acara mulai jam 9, jadi aku harus berangkat jam 7? Hmmm...ya dan akhirnya it only last for less than 3 months. Cuapek di jalan sist... Hehehe

Rumah Belajar Rawamangun.

Aku gak inget asal muasalnya dari mana. Pernah daftar apa, dimana, kapan, gak inget. Mungkin kalau dari awal aku tau ini turunan Turun Tangan, I won't come :p Waktu itu kebetulan lagi cek email lama dan salah satunya ada diemail yang isinya first meet up untuk Rumah Belajar dan di Rawamangun. "Wah deket nih", pikir ku, "Mari kita lihat berapa lama aku bisa komit, masa cuma gitu2 doang ikut volunteer.." Kira-kira itu yang ngebuat aku mau ikut jadi volunteer di Rumbelraw. I give challenge to my self.

Fakta lainnya adalah aku gak bisa ngajar atau lebih tepatnya aku gak bisa nyanyi2 depan kelas supaya satu kelas ikutan nyanyi bareng. Do not ever put me in the spotlight where I have to make others people do the same thing like I do. But, Hey! I can make someone to do that, standing in front of the class with confidence and singing like a bird! Hahaha let's meet that guy!

Dan mereka memanggil satu sama lain "Kakak"

Semua yang sukarelawan yang partisipasi di Rumah Belajar Rawamangun ini akan dipanggil "Kakak" untuk mengikuti panggilan dari adik-adik yang akan diajar. Hampir semua kegiatan yang basisnya mengajar sosial akan menggunakan kata panggilan "Kakak". Giordanonya kakak... 

Perasaan "yes! gw gak berasa tua" itu cuma berlangsung sekian minggu sampai akhirnya aku tau sebagian besar masih kuliah. Masih kuliah artinya 2-3 tahun lebih muda dari aku *straight face* dan bahkan ada yang baru lulus SMA *freezing*. Tanya sana sini, emang gak ada yang seangkatan? 1 orang pun gak ada? Ya Tuhaaan ini gw nyasar apa gimana yak. Mungkin temen-temen seangkatan uda gak ngurusin beginian lagi. Mungkin kayak gini udah lewat masanya. Mungkin harusnya seumuran aku sekarang yang diurus adalah suami sama anak sendiri *ngumpet dipojokan* *pura-pura kuat* *besok sebar undangan* *undangan sunat* :'D

Berjalannya minggu pun, makin tau satu per satu kakak-kakak di sini. Cuma tau, tapi gak kenal-kenal banget. Hehehe. Tangan aku rasanya gak nyampe untuk salaman satu per satu ke semuanya. Buat aku, kenal sama orang dan bisa jadi deket itu sangat menyenangkan. Walaupun usia mereka lebih muda, tapi banyak hal yang malah aku belajar dari mereka. Mereka ini memang masih kuliah, tapi mereka kerja buat ngebiayain kuliah mereka sendiri. Ada yang rela gak kuliah dulu karena cuma mau kuliah di PTN. Ada yang rela gak kuliah di PTN karena gak dapet beasiswa dan gak cukup dana untuk biaya sendiri. Ada yang jauh-jauh ke Semarang, kerja cari uang, supaya gak ngebebanin orang tua daripada di rumah gak ada kegiatan dan belum kuliah. Kerja keras dari Senin sampai Senin, yang kalau aku bayangin aja capek.

Selain dari kehidupan di luar Rumbelraw, yang bikin aku gak nyangka adalah rumah mereka gak tanggung-tanggung jauhnya. Ada yang dari Depok, bahkan dari Cikarang. Itu kira-kira 20 tahun kemudiaaan... Akhirnya ya paham kalau di setiap pertemuan hari ini yang dateng ABCD, minggu depan yang dateng BCDE, sampai akhirnya ada VXYZ

Dan gak bermaksud cinderella story sih, tapi kakak-kakak di sana ngebuka satu pintu di diri aku. Jadi mereflektif ngeliat diri sendiri, gak kebayang kan kalo aku yang harus gak kuliah dulu terus adek yang lenggang lenggong kuliah? Harus berlama-lama di jalan kalau mau menuju pusat kota. Pun gak harus ke pusat kota pun, gak bikin jadi mati kelaperan. The truth is, jalan hidup orang memang beda-beda. Satu masalah yang dihadapi oleh satu orang, gak lantas ngebuat masalah orang lain jadi terlihat gak penting atau sepele. Tapi ngebuat kita lebih pandai menghargai orang lain, pandai berempati. Jangan ngeliat diri sendiri mulu deh, liat orang lain, kalau kita ada di posisi mereka, bisa gak? Maka nikmat Tuhan mana yang kamu dustakan?

*****

Menciptakan perbedaan di kehidupan orang lain itu menurut ku sesuatu yang berat, karena sebenarnya kita gak pernah seutuhnya bertanggung jawab akan hidup orang lain. Dokter, pengacara, psikolog, bahkan pemuka agama sekalipun hanya memberikan pilihan. Pun menjadi volunteer mungkin manfaat yang kita lakukan hari ini baru akan terasa 10 tahun lagi, mungkin. Tapi kalau manfaat untuk diri sendiri, itu kita sendiri yang tentuin. Setuju kan kalau apapun yang kita lakukan harus ada manfaatnya, iya kan? Hehehehe *benerin mic* *jama'aaaahh..*

Sekarang aku formally keluar dari grup Rumah Belajar Rawamangun. Bukan karena sibuk, karena gak ada orang sesibuk itu selama dia masih bisa duduk2, ngobrol, ketawa-ketawa. Anyway, I somehow love this quote "We met as strangers, but we leave as friend".


Pada jaman dahulu kala.. Pada jaman Jahiliyah..

Here you are! The guy who get along so well with kids

Thank you! :D


Saturday, December 12, 2015

Saturday Night Advice

Today class in British Council is talking about someone who has a big influenced on us. Well, to that questions, Gabe asked me about the one who inspired me in doing voluntary work but I absolutely have no idea. I should admit that I literally forget how that came to me or even who brought that to me. You know when you forget about something, I'm sure that must be something less important to you today. Sorry to that :)) In fact, I deeply aware to whom I admire the most now. That is you who's able to fight your own insecurity within yourself, you who have a comfortable inner peace.

It's Saturday night now. I'm sitting at the most well-known coffee shop who build up the customers engagement to the brand by writing the customers' name on the side of the cup. From what I'm seeing I now, people are coming to this coffee shop particularly not to have long chit chat with friends, neither laughing out loud to spend the rest of the night. They're bringing their books in their hand with an earphone on. The others also are here with their laptop opened, not really sure what they're doing with their laptop, but seems fine although it is weekend. Recently, I also met two new friends who like to spend their weekend for movies all alone or do some me-time. Not to forget, there's also one person that I know closely who regularly recite The Qur'an every Saturday night, while some other may still thinking where should they hang out to.

What I'm trying to say here is there will be no day that you can run away from such peer pressure, but it all comes back to you, how you will response to it. This word from Nouman Ali Khan will always be in my mind :

No days that you will wake up, look in to the mirror, then feels like "Hey I'm a better person now". It will be on your daily basis to make a decision which path are you gonna take. And every day we will always face different choices. One's struggling may be different from others, but doesn't mean one's is easier than others'.


Just because I'm an introvert, I'm not saying that being around with friends is fully a mistake. But just do it if you really want to and not because you have to. To me, social acceptance is not that worth to be fight for, it should be given sincerely. You will be at the stage that what people say is worth less than how you describe your own self. Well, your whole life is more meaningful than one Saturday night. So for your own's shake, spend it wisely.


Have a nice Saturday night :)




*This post is written due to english written skills test.*

Sunday, September 27, 2015

Weird Post

Ngablu. You've been warned ya :)

Nanti pasti akan ada waktunya aku akan pergi meninggalkan ini semua. Lagi-lagi menarik mundur diri dari dunia, dari orang-orang ini, dari segala sesuatu yang fana. Yaitu saat dimana hawa nafsu mulai merajai hati, menggerogoti niat yang tulus. Kedamaian dengan diri sendiri sulit untuk dikuasai.

Mungkin aku manusia paling rumit sedunia. Perkataan dan perilaku ku banyak salahnya, mungkin aku bisa menjadi contoh supaya kalian jangan berteman dan jangan menjadi seperti aku. Hahaha..

Sering-sering tengok diri sendiri, sering-sering ngaca. Setiap orang pasti beda-beda, gak bisa nuntut semua orang ngerti cara berpikir kita, cara kerja kita, lebih-lebih ngerti apa yang kita mau. Pasti ada orang yang gak nyaman ada di sekitar kita, sama halnya kalau kita merasa tidak nyaman dengan orang lain. Tapi mungkin mereka gak enak buat ngomong dan akhirnya mundur pelan-pelan. Peka.

Dunia ini fana. Sering nipu kita. Dunia itu taruh ditangan, jangan dihati. Orang-orang, kejadian yang kita alami, itu  diterima kemudian harus siap dilepaskan.

*buka blog dan menemukan postingan ini saved as a draft. Yes, it's weird.*